#ParaPihaq, dalam perkara perdata, yang menang bukan yang benar, tapi yang bisa membuktikan kebenarannya.
Dari semua alat bukti dalam perkara perdata, bukti tertulis merupakan yang paling krusial dalam proses pembuktian. Sebab, alat bukti ini memang sengaja dibuat untuk menjadi dasar pembuktian apabila terjadi sengketa.
Yuk kita bahas tuntas kekuatan alat bukti tertulis dalam pembuktian perdata dari pengertian, jenis, sampai dasar hukumnya!
Apa itu Alat Bukti Tertulis?
Alat bukti tertulis adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan dan dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau buah pikiran seseorang guna dipakai dalam pembuktian. Dalam hukum acara perdata, ini mencakup akta otentik seperti akta notaris, perjanjian tertulis yang ditandatangani para pihak, dokumen pendukung seperti faktur dan kwitansi, hingga surat-surat pribadi, selama keasliannya dapat dibuktikan di hadapan hukum.
Pengaturan mengenai alat bukti tertulis ini dijelaskan secara sistematis dalam berbagai ketentuan, antara lain Pasal 138, 165, dan 167 HIR, Pasal 164 serta 285–305 RBg, dan juga dalam Staatsblad 1867 Nomor 29 yang dikodifikasi ke dalam Pasal 1867 hingga 1894 KUH Perdata.
Jenis-Jenis Bukti Tertulis
Dalam pembuktian, alat bukti tertulis terbagi menjadi tiga bentuk utama:
1. Akta Otentik
Akta otentik adalah surat atau dokumen yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang, yang ditetapkan oleh undang-undang.
Adapun yang dimaksud dengan pejabat umum, antara lain:
- Notaris, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 15 UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris,
- Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
- Pegawai Pencatat Sipil, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 16 UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan,
- Dan pejabat lain yang berwenang membuat akta otentik sesuai peraturan perundang-undangan.
Contoh akta otentik:
- Akta notaris (seperti akta jual beli, perjanjian sewa),
- Akta jual beli tanah oleh PPAT,
- Akta kelahiran/kematian/perkawinan.
Menurut Pasal 165 HIR dan Pasal 1868 KUH Perdata, akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Artinya, isi yang tercantum dalam akta otentik dianggap benar dan mengikat, baik bagi para pihak maupun pihak ketiga, selama tidak dibuktikan sebaliknya.
2. Akta di Bawah Tangan
Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum, melainkan semata-mata dibuat antara pihak-pihak yang berkepentingan. Akta jenis ini banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, seperti perjanjian utang-piutang, surat pernyataan, dan kontrak kerja.
Akta di bawah tangan dapat memiliki kekuatan hukum yang sempurna, apabila tanda tangan yang tercantum di dalamnya diakui oleh pihak yang membuatnya. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 2 Staatsblad 1867 No. 29 dan ditegaskan kembali dalam Pasal 1875 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa jika tanda tangan dalam akta di bawah tangan diakui oleh yang membuatnya, maka akta tersebut memiliki kekuatan pembuktian sempurna seperti akta otentik.
Pengakuan atas tanda tangan tersebut harus dilakukan secara eksplisit. Mengacu pada pendapat Wirjono Prodjodikoro (1982:110), pengakuan itu berbunyi: “Tanda tangan itu betul tanda tangan saya dan isi tulisan itu adalah benar.”(1) Artinya, pihak yang mengakui tidak hanya mengakui tanda tangannya, tetapi juga mengakui kebenaran isi akta tersebut.
Sebaliknya, jika tanda tangan dalam akta di bawah tangan disangkal oleh pihak yang tercantum di dalamnya, maka beban pembuktian berpindah kepada pihak yang mengajukan akta tersebut. Ia wajib membuktikan bahwa tanda tangan itu memang sah dan milik pihak yang bersangkutan. Dalam hal ini, hakim harus memeriksa keaslian tanda tangan sebagai bagian dari proses pembuktian.
Meskipun akta di bawah tangan yang telah diakui memiliki kekuatan pembuktian sempurna, tetapi ia tidak memiliki kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga, berbeda dengan akta otentik yang dapat berlaku umum.
3. Surat Bukan Akta
Surat bukan akta adalah jenis surat yang tidak memenuhi syarat sebagai akta, baik otentik maupun di bawah tangan. Surat ini tidak dibuat dengan tujuan awal sebagai alat bukti pembuktian suatu peristiwa hukum dan tidak ditandatangani di hadapan pejabat umum.
Contohnya meliputi:
- Surat pernyataan informal,
- Catatan utang-piutang,
- Kwitansi atau faktur sederhana.
Kekuatan pembuktian surat bukan akta tidak bersifat otomatis dan tidak memiliki kekuatan pembuktian sempurna, seperti pada akta otentik maupun akta di bawah tangan. Oleh karena itu, nilai pembuktiannya sangat bergantung pada penilaian hakim dalam persidangan. Hakim akan mempertimbangkan relevansi, konteks, dan konsistensinya dengan bukti lain.
#ParaPihaq, dalam hukum acara perdata, alat bukti tertulis menempati posisi yang sangat menentukan dalam proses pembuktian. Akta otentik memberi pembuktian sempurna dan mengikat semua pihak, sementara akta di bawah tangan dapat menjadi alat bukti sempurna apabila tanda tangannya diakui. Bahkan surat bukan akta pun tetap dapat dijadikan alat bukti, meskipun nilainya ditentukan hakim. Pada akhirnya, yang menang bukanlah yang paling benar, tapi yang paling mampu membuktikan kebenarannya secara sah di mata hukum.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
- Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.
- Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
- Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
- Herzien Inlandsch Reglement (HIR).
- Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RBg).
Referensi:
- Harahap, M. Y. (2017). Hukum acara perdata: Gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan (Edisi Kedua, disunting oleh Tarmizi). Jakarta: Sinar Grafika.
- Momuat, O. M. (2014). Alat bukti tulisan dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan. Lex Privatum, 2(1), 134–143.
Footnote:
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Bandung: Sumur Bandung, 1982), 110.